Kompensasi eksekutif, aktivitas perusahaan, dan rasio gaji CEO dengan karyawan

By Rahmat Febrianto On Senin, 17 November 2008 At 09.51

Jika upah minimum propinsi diambil rata-rata adalah Rp.1.000.000 per bulan, berapa kira-kira gaji seorang direktur utama (CEO) perusahaan di Indonesia? Ambil saja gaji CEO PT. Telkom sebagai sebuah perbandingan. Menurut data tahun 2007, gaji yang diterima oleh CEO Telkom adalah Rp.118 juta (http://ariefmustain.telkom.us/2007/07/11/gaji-dirut-rp-118-juta/ diambil 17/11/08). Dengan perbandingan itu maka rasio antara gaji CEO dengan gaji seorang buruh terrendah adalah 118:1. Bisik-bisik di internet di berbagai forum diskusi yang saya pantau, CEO Bank Mandiri bahkan digaji Rp.800 juta sebulan! Rasionya bisa 800:1. Itu mungkin baru kompensasi tunai, belum opsi saham, fasilitas, dll.


Apakah angka ini rendah atau tinggi? Di AS, rasionya adalah 400:1 dengan rata-rata pegawai. Sementara di Eropa rasionya hanya 30 s/d 40 berbanding 1.


Jika rasio di Indonesia itu adalah hanya perbandingan antara CEO dengan pegawai terrendah, namun cukup valid kita gunakan karena komposisi perusahaan di Indonesia memang ada pada level kelas bawah. Kalau angka moderat kita ambil, maka rasionya, katakan, sekitar 100:1.


Apa arti perbedaan yang besar ini, terutama bagi penelitian akuntansi?


Anderson, Banker, & Janakiram (2003) menemukan sebuah simpulan yang menarik. Mereka melihat bahwa ketika aktivitas perusahaan meningkat, maka biaya-biaya akan meningkat. Misalnya, perusahaan akan membuka toko baru, pabrik, mempekerjakan pegawai lebih banyak, dll. Sehingga, ada hubungan positif antara kenaikan aktivitas dengan kenaikan biaya-biaya.


Namun, bagaimana kalau aktivitas menurun? Bagaimana kalau resesi seperti sekarang ini terjadi? Apakah perusahaan akan menurunkan juga biaya-biayanya?


Jawaban yang mereka dapatkan justru menunjukkan bahwa para manajer enggan menurunkan biaya-biaya tersebut. Salah satu penjelasan dari perilaku ini adalah perilaku moral hazard. Mereka tidak mau menurunkan biaya-biaya, misalnya, dengan menutup sebagain toko karena mereka takut hal itu akan menjadi dasar pengukuran kinerja mereka. Alih-alih menurunkan biaya, mereka cenderung menunggu dulu hingga penurunan itu benar-benar material. Maksudnya, jika penurunan aktivitas itu hanya, misalnya, 5-10%, maka mereka cenderung akan menunda, misalnya, penutupan sebuah pabrik, kantor cabang, dll.


Penelitian Anderson dkk ini telah diuji lagi oleh beberapa penelitian lain. Salah satu hal yang menarik bagi saya adalah saran dari Anderson dkk bahwa harus ada penelitian atas komponen-komponen biaya yang tidak menurun ketika aktivitas menurun tersebut. Di dalam laporan laba rugi kita tahu bahwa ada banyak biaya yang berhubungan dengan aktivitas usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, wajar ada biaya yang seharusnya sensitif terhadap perubahan aktivitas dan ada yang tidak sensitif terhadap perubahan aktivitas. Salah satu biaya yang harusnya sensitif tersebut adalah biaya gaji.


Biaya gaji yang seharusnya sensitif tersebut adalah biaya eksekutif perusahaan. Ketika aktivitas perusahaan meningkat, gaji mereka pasti meningkat. Namun, apakah ketika aktivitas perusahaan menurun, gaji mereka juga akan menurun?


Pertanyaa empiris ini, untuk sementara, telah saya bisa saya jawab. Dengan meminjam data dari seorang peneliti, saya menemukan bahwa gaji eksekutif di AS tidak mengalami penurunan setelah aktivitas perusahaan menurun dari tahun 1992 ke 1993. Walau saya tidak bisa menemukan pada level penurunan aktivitas berapa persen gaji akan baru akan menurun, namun terbukti bahwa gaji eksekutif "tidak bersedia diturunkan" walau aktivitas perusahaan telah menurun.


Aplikasi ke Indonesia


Pertanyaan penelitian ini adalah topik yang menarik jika kita bawa ke Indonesia. Gaji eksekutif di Indonesia jelas tidak transparan, walau itu adalah perusahaan publik. Bukti anekdotal di atas hanya berasal dari satu sumber, bukan dari sumber resmi. Di Indonesia tidak ada aturan formal yang mengatur berapa seharusnya rasio gaji antara eksekutif dengan rata-rata pegawai. Sehingga, eksekutif bisa dengan semaunya menetapkan gaji mereka sendiri.


Jika itu yang terjadi, maka bukan tidak mungkin bahwa ketika aktivitas menurun pada masa resesi ini gaji eksekutif perusahaan di Indonesia tidak akan pernah berkurang, walau aktivitas terus menurun. Penurunan aktivitas lebih sering diberi solusi dengan pengurangan karyawan (tindakan ini sebenarnya bertujuan untuk mempertahankan ROA agar tetap tinggi!). Seharusnya, sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap aktivitas dan biasanya digaji berbasis aktivitas, maka penurunan aktivitas harus diiringi oleh penurunan gaji eksekutif juga.


Namun, kendala penelitian ini di Indonesia adalah ketersediaan dan keakuratan data gaji eksekutif di Indonesia, bahkan untuk perusahaan publik sekalipun! Jika pun ada, maka data itu cenderung understated, bahkan kalau kita harus menelusuri ke lembar SPT PPh pasal 21 tahunan mereka.


Jika data ini tersedia, implikasi penelitian ini bagi ilmu akuntansi manajemen akan sangat luas. Di antaranya, pertama, kita akan tahu apakah eksekutif peka atau tidak dengan penciutan bisnis mereka sehingga mereka bersedia digaji lebih rendah atau, setidaknya, bersedia mau tidak diberi bonus berbasis aktivitas. Kita juga bisa tahu apakah kompensasi mereka memang berhubungan dengan kinerja perusahaan ataukah tidak. Apakah pemegang saham selama ini "terlalu bermurah hati" kepada eksekutif atau tidak. Kedua, bahwa rasio gaji yang sangat tinggi tersebut memang bukanlah sebuah rasio yang baik, terutama dari sisi pemotivasian karyawan level lebih rendah. Jika rata-rata gaji mereka sangat jauh dari gaji eksekutif, maka bisa diduga bahwa motivasi, kepuasan kerja akan juga rendah. Ketiga, kita bisa tahu mana eksekutif yang hanya titipan keluarga pemilik perusahaan tapi tidak kompeten dan mana eksekutif yang benar-benar kompeten.




Sleman, November 2008

Label: , ,

for this post

 
Blogger kang indra Says:

Naskah yang menarik pak Rahmat. Perkenalkan saya Indra redaktur mjlh AUDITOR. Apakah tulisan bapakini boleh saya muat di majalah saya. Mohon konfirmasi persetujuan dapat dikirmkan melalui email saya: indra_khairuddin@yahoo.co.id berikut foto anda. Hp saya 081806153552

 

Leave a Reply