Proksi kualitas auditor*

By Rahmat Febrianto On Rabu, 01 April 2009 At 09.22

(Saat ini, artikel saya ini dan dua artikel yang lain yaitu ini dan ini telah dipinjam tanpa izin di http://perpusol-samsam.blogspot.com/search/label/AUDITING.)


Bertahun-tahun peneliti akuntansi, terutama pengauditan, secara tidak sadar terkecoh dengan proksi kualitas audit atau kualitas auditor. Mereka biasanya mengacu kepada DeAngelo (1981) sebagai dasar untuk menggunakan ukuran kantor akuntan publik (KAP) sebagai proksi kualitas audit. Padahal, DeAngelo menyatakan bahwa yang ia maksud dengan kualitas audit adalah:


"the market-assessed joint probability that a given auditor will both (a) discover a breach in the client's accounting system and (b) report the breach".


Jelas di dalam pernyataan itu adalah bahwa kualitas ditentukan oleh kompetensi dan independensi auditor. Auditor yang kompeten adalah auditor yang bisa menemukan adanya pelanggaran sedangkan auditor yang independen adalah auditor yang "bersedia" melaporkan" pelanggaran tersebut.


Kedua, pernyataan di atas didasarkan pada asumsi DeAngelo bahwa kualitas ditentukan dari sisi suplai audit saja, yaitu dari sisi auditor, tidak dari sisi permintaan, yaitu klien. Konsekuensi dari asumsi tersebut adalah DeAngelo hanya mempertimbangkan kualitas atas dasar apa yang bisa diberikan oleh auditor, bukan apa yang juga diminta atau dibutuhkan oleh klien. Selain itu juga mengabaikan, misalnya, kualitas sistem informasi klien, risiko klien, dll.


Ketiga, yang paling penting, frasa "market-assessed" menunjukkan bahwa kualitas audit ditentukan oleh penilaian pasar. Implisit dari pernyataan ini adalah bahwa kualitas auditor diukur dari persepsi pengguna laporan keuangan tentang kualitas auditor atau dengan kata lain adalah reputasi auditor.


Apakah reputasi bisa menunjukkan kualitas? Reputasi adalah perspektif masa lalu. Seseorang yang bereputasi baik adalah orang yang dari dulu hingga sekarang dianggap memiliki kualitas baik. Demikian juga auditor.


Mengapa KAP besar (8/6/5/4/3) adalah auditor dengan reputasi baik? Selain dengan dasar apa yang telah dilakukan oleh KAP tersebut di masa lalu, reputasi juga didasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh KAP tersebut. Semakin besar sebuah KAP, semakin besar sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang lebih besar diekspektasi memiliki hubungan dengan kualitas audit yang juga baik.


Tapi, mana yang lebih penting antara kepemilikian sumber daya dibandingkan dengan penggunaaan sumber daya?


Kasus Enron/Andersen adalah bukti bahwa penggunaan sumber daya (untuk tujuan pemberian opini yang independen) lebih penting daripada kepemilikan sumber daya. Andersen adalah sebuah KAP yang besar namun reputasinya di masa lalu justru tidak menunjukkan bahwa ia akan selalu memiliki kualitas audit yang baik.


Apakah reputasi audit tetap bisa dijadikan ukuran kualitas audit?


Kasus Enron/Andersen menunjukkan bahwa kualitas tidak sama sekali bisa diukur dengan ukuran KAP. Dari awal DeAngelo memaksudkan bahwa ukuran KAP adalah proksi bagi reputasi auditor. Namun, ia sendiri dengan sengaja, sepertinya, memaksakan reputasi audit sebagai proksi bagi kualitas audit. Menurut saya, ini terjadi karena belum adanya ukuran kualitas audit yang mapan--bahkan hingga sekarang.


Watkins, Hillison, dan Morecroft (2004) memisahkan antara persepsi tentang kualitas audit dengan kualitas audit itu sendiri. Persepsi tentang kualitas audit itu adalah, mengikuti DeAngelo, reputasi auditor. Sedangkan kualitas audit adalah kemampuan auditor untuk memastikan bahwa kecurangan tidak terjadi (setidaknya secara material) dan "berani" melaporkan adanya kecurangan tersebut.


Jadi, bagaimana mengukur kualitas audit? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Kualitas sebuah pekerjaan sangat erat hubungannya dengan apa yang dilakukan seseorang di dalam pekerjaannya dan hasil pekerjaannya. Artinya, kualitas bisa bervariasi antar pekerjaan atau penugasan. Dua laporan akuntan publik yang dihasilkan dari satu kantor akuntan yang sama bisa memiliki kualitas yang berbeda.


Kualitas audit tidak bisa dipastikan sama antar penugasan karena ada dua sisi yang mempengaruhinya: auditor dan klien. Kepemilikan sumber daya audit yang besar oleh auditor tidak mesti akan menghasilkan sebuah laporan keuangan yang bebas dari kecurangan. Auditor sendiri memiliki persepsi awal tentang klien, seperti risiko pengauditan atas klien. Auditor yang salah persepsi tentang risiko bisnis klien akan menghasilkan pendapat yang juga keliru.


Pasokan informasi dari klien turut mempengaruhi pekerjaan auditor. Selain itu adalah konflik keagenan di dalam diri klien. Konflik itu tidak akan sama setiap tahun--walau juga tidak setiap tahun akan berubah--misalnya karena perubahan komposisi kepemilikan atau keluar/masuk bursa saham.


Saat ini ada tren besaran akrual diskresioner (terutama yang abnormal) sebagai proksi kualitas audit. Audit yang berkualitas adalah audit yang membuat perusahaan tidak melaporkan akrual diskresioner yang abnormal.


Tepatkah? Debatable, memang.


Pendapat yang tidak menyetujui berpijak bahwa akrual diskresioner adalah proksi bagi manajemen laba. Auditor tidak ditugaskan dan tidak menelisik keberadaan manajemen laba di dalam perusahaan. Sepanjang bahwa perusahaan mematuhi GAAP dan memiliki dasar yang kuat bagi setiap akrual mereka, maka akrual diskresioner tidak akan mempengaruhi opini audit. Sehingga, akrual diskresioner bukanlah ukuran kualitas audit.


Di sisi lain, pendapat yang mendukung menyatakan bahwa auditor memiliki tugas untuk memastikan bahwa laporan keuangan bebas dari kecurangan. Tugas auditor saat ini, menurut mereka, beralih kepada aspek legal (dalam hal ini adalah GAAP). Padahal ekspektasi pengguna tetap pada kemampuan mereka menemukan dan melaporkan kecurangan. Nah, salah satu ukuran kecurangan di dalam akuntansi adalah besaran akrual diskresioner.


Inti dari artikel ini ada dua. Pertama, jika anda hendak mengukur kualitas audit jangan mengukur dengan reputasi mereka (dalam hal ini diproksi dengan ukuran kantor akuntan publik). Dimensi kualitas dengan reputasi tidaklah sama. Kedua, peneliti yang hendak menggunakan akrual diskresioner sebagai proksi kualitas juga harus berhati-hati. Persepsi orang tentang akrual ini lebih condong pada manajemen laba--sesuatu yang tidak dipandang merupakan tugas auditor untuk menemukannya.


Benarkah demikian?


Bahasan tentang hal ini akan ada di artikel selanjutnya.




Sleman, April 2009


for this post

 
Blogger Unknown Says:

silakan rajin2 melihat http://www.copyscape.com. untuk hasil spesifik, masukan url postingnya (bukan hanya blognya). jika memang ada, buat printscreen-nya, tegur baik2. jika tidak ada tanggapan, buat posting kritik di blog anda dengan printscreen tersebut.

dalam hal ini, pasal pencemaran nama baik yang dilayangkan pihak penjiplak akan kalah dengan pasal hak cipta yang kita pakai.

saran saya, di blog Anda, aktifkan fitur “tanggal pengeposan” supaya jelas siapa duluan yang mem-posting artikel

mari perangi plagiarisme!

 
 
Blogger Unknown Says:

Wah, bisa menggunakan akrual diskresioner untuk mengukur kualitas audit ya? Kira-kira ada tidak artikel (Asing maupun lokal) yang sudah menggunakannya?

Thank You

 
 
Blogger Rahmat Febrianto Says:

Benar, Mbak(?) Nura. Walaupun masih bisa diperdebatkan namun beberapa peneliti telah menggunakan akrual diskresioner sebagai proksi kualitas audit. Misalnya
Myers, J., L. Myers, dan T. Omer. 2003. Exploring the term of the auditor-client relationship and the quality of earnings: A case for mandatory auditor rotation. The Accounting Review 78 (3): 779-799.

Becker, C., M. DeFond, J. Jiambalvo, dan K.R. Subramanyam. 1998. The effect of audit quality on earnings management. Contemporary Accounting Research, 15 (1): 1-24.

DeFond, M. dan K.R. Subramanyam. 1998. Auditor changes and discretionary accruals. Journal of Accounting and Economics, 25 (1): 35-67.

Bartov, E., F. Gul, dan J. Tsui. 2000. Discretionary-accrual models and audit qualifications. Journal of Accounting and Economics 30 (3): 421-452.

Nagy, A. 2005. Mandatory audit firm turnover, financial reporting quality, and client bargaining power: The case of Arthur Andersen. Accounting Horizons, 19 (2): 51-68.


Saya sendiri telah mencoba menggunakan ukuran ini.

Bahasan tentang ini bisa juga anda temukan di Jurnal AUDI tahun 2010 yang diterbitkan oleh Univ. Udayana.

 
 
Blogger Rahmat Febrianto Says:

Benar, Mbak(?) Nura. Walaupun masih bisa diperdebatkan namun beberapa peneliti telah menggunakan akrual diskresioner sebagai proksi kualitas audit. Misalnya
Myers, J., L. Myers, dan T. Omer. 2003. Exploring the term of the auditor-client relationship and the quality of earnings: A case for mandatory auditor rotation. The Accounting Review 78 (3): 779-799.

Becker, C., M. DeFond, J. Jiambalvo, dan K.R. Subramanyam. 1998. The effect of audit quality on earnings management. Contemporary Accounting Research, 15 (1): 1-24.

DeFond, M. dan K.R. Subramanyam. 1998. Auditor changes and discretionary accruals. Journal of Accounting and Economics, 25 (1): 35-67.

Bartov, E., F. Gul, dan J. Tsui. 2000. Discretionary-accrual models and audit qualifications. Journal of Accounting and Economics 30 (3): 421-452.

Nagy, A. 2005. Mandatory audit firm turnover, financial reporting quality, and client bargaining power: The case of Arthur Andersen. Accounting Horizons, 19 (2): 51-68.


Saya sendiri telah mencoba menggunakan ukuran ini.

Bahasan tentang ini bisa juga anda temukan di Jurnal AUDI tahun 2010 yang diterbitkan oleh Univ. Udayana.

 
 
Blogger ukhti Hay Says:

salam..
saya bisa minta jurnal

Myers, J., L. Myers, dan T. Omer. 2003. Exploring the term of the auditor-client relationship and the quality of earnings: A case for mandatory auditor rotation. The Accounting Review 78 (3): 779-799.

Becker, C., M. DeFond, J. Jiambalvo, dan K.R. Subramanyam. 1998. The effect of audit quality on earnings management. Contemporary Accounting Research, 15 (1): 1-24.

DeFond, M. dan K.R. Subramanyam. 1998. Auditor changes and discretionary accruals. Journal of Accounting and Economics, 25 (1): 35-67.

Bartov, E., F. Gul, dan J. Tsui. 2000. Discretionary-accrual models and audit qualifications. Journal of Accounting and Economics 30 (3): 421-452.

Nagy, A. 2005. Mandatory audit firm turnover, financial reporting quality, and client bargaining power: The case of Arthur Andersen. Accounting Horizons, 19 (2): 51-68.
email saya nourhay16@yahoo.com

 
 
Blogger ukhti Hay Says:

salam..
bisa kirim jurnal berikut ke email saya nourhay16@yahoo.com

Myers, J., L. Myers, dan T. Omer. 2003. Exploring the term of the auditor-client relationship and the quality of earnings: A case for mandatory auditor rotation. The Accounting Review 78 (3): 779-799.

Becker, C., M. DeFond, J. Jiambalvo, dan K.R. Subramanyam. 1998. The effect of audit quality on earnings management. Contemporary Accounting Research, 15 (1): 1-24.

DeFond, M. dan K.R. Subramanyam. 1998. Auditor changes and discretionary accruals. Journal of Accounting and Economics, 25 (1): 35-67.

Bartov, E., F. Gul, dan J. Tsui. 2000. Discretionary-accrual models and audit qualifications. Journal of Accounting and Economics 30 (3): 421-452.

Nagy, A. 2005. Mandatory audit firm turnover, financial reporting quality, and client bargaining power: The case of Arthur Andersen. Accounting Horizons, 19 (2): 51-68.

 
 
Blogger Unknown Says:

Bahasan selanjutnya apa pak?
Sy ini juga sdg menggunakan kualitas audit,proksi DACC,tapi masih debat dg dosen saya

 
 
Blogger Rahmat Febrianto Says:

Untuk Yuki, coba lihat artikel lain di http://rfebrianto.blogspot.com. Silakan dibaca dulu dan kalau masih ada yang ingin ditanyakan, silakan mengirim email.

 
 
Blogger Unknown Says:

Wah maaf pak, saya cowok lho :).
Kalo boleh saya tau apa ya judul jurnal yang ada di AUDI tersebut?

Setelah saya search saya hanya ketemu jurnalnya Myers.
Saya juga ingin meneliti tentang kualitas audit ini pak.
Namun saya belum menemukan alasan yang kuat untuk menggunakan akrual sebagai proksi kualitas audit.
Argumen pembantahnya adalah bahwa akrual adalah hak dari perusahaan, dan hal itu diperbolehkan sepanjang perusahaan mematuhi GAAP.
Ada saran tidak pak, dimana saya bisa merujuk argumen untuk menguatkan alasan menggunakan akrual?
Saya menemukan penelitian lain yang juga menggunakan akrual, tetapi saya masih belum menemukan argumen yang kuat mengenai hal ini.
Mohon sarannya pak.

Thank You

 
 
Blogger Rahmat Febrianto Says:

Maaf Mas Nura, saya tidak bisa menebak nama anda. Ini ada link ke artikel yang saya maksud. http://ejournal.unud.ac.id/detail-33-42-240-307-2098-pengukuran-kualitas-audit-sebuah-esai.html?module=daftarjurnal&idf=33
Akrual adalah hak perusahaan? Yang lebih tepat maksudnya adalah akrual adalah konsekuensi dari basis akuntansi yang memilih menggunakan basis akrual, bukan basis kas. Kalau anda bisa menemukan artikel Krishnan. 2003. Audit quality and the pricing of discretionary accruals. Auditing: A Journal of Practice and Theory. Tapi saya kira Myers juga sudah beragumen kok.

 
 
Blogger Unknown Says:

Haha enggak masalah pak :).
Wah makasi buat linknya.
Untuk Myers memang sudah berargumen pada jurnalnya, tapi mungkin saya coba dl mencari arikel Krishnan. 2003.

Trima kasih banyak pak

 
 
Blogger Unknown Says:

klo kualitas audit diproksikan dengan spesialisasi auditor bisa g?trus spesialisasi auditor sendiri pengukurannya memakai market share perusahaan menggunakan angka herfindah

 
 
Blogger Rahmat Febrianto Says:

Spesialiasi kan biasanya dihubungkan dengan industri. Jadi auditor terspesialisasi di industri mana. Kalau di industrinya hanya ada 3 persh dan auditornya masing2 beda, nanti siapa yang akan dikatakan paling baik? Itu kelemahannya.
Kalau pakai pangsa, maka dulu Andersen pemegang pangsa terbesar di Ind. Kenyataannya jeblok. Jadi, tidak selamanya bisa begitu.

 
 
Anonymous Anonim Says:

kalau misalkan diproksikan dengan going concern bagaimana ya?
mengapa kualitas audit yang tinggi malah cenderung meningkatkan penerimaan opini going concern?

 
 
Blogger Unknown Says:

Pak Rahmat, saya pingin nyusun skripsi hubungan ukuran kap dan kualitas audit dgn tenur sbagai variabel moderasi. Kira2 menurut bapak proksi yg tepat apa aja ya? trus bagusnya dtambahi variabel ap ya pak? makasih

 
 
Blogger Vina Dinuka Says:

Wah, terima kasih byk atas infony,sgt membantu.
Tapi, apakah ada saran sebaiknya menggunakan proksi apa utk mengukur kualitas audit dengan tepat?karena saya sedang melakukan penelitian tentang kualitas audit.
Saya juga setuju tentang penggunaan discretionary accrual sebagai proksi kualitas audit adalah kurang tepat.
Jadi kira2 apa solusinya y?
terima kasih, salam kenal juga.

 
 
Blogger Vina Dinuka Says:

Wah,terima kasih atas infonya, sangat membantu...
Tapi apakah ada saran,sebaiknya menggunakan proksi apa yang tepat utk mengukur kualitas audit, karena saya sedang melakukan penelitian ttg kualitas audit.
Saya juga setuju bahwa penggunaan discretionary accrual sbg proksi kualitas audit adalah kurang tepat.
Apakah ada saran?
terima kasih,

 
 
Anonymous Anonim Says:

Assalamualaikum. slamt malam pak,. pak, saya mau bertnya, saya kan sdg menulis skripsi tentang manajemen risiko, variabel independen sya slah satunya adalah reputasi auditor dan sya menggunakan dummy dgn kriteria nilai 1 utk audtr afiliasi big 4 dn sblknya, apkah itu masih bisa? terimaksh

 
 
Blogger Unknown Says:

Boleh minta penjelasannya pak kenapa opini audit going concern bisa di jadikan proxy kualitas audit? dan proxy apah yang sebaiknya digunakan untuk kualitas audit pak? saya sedang melakukan penelitian kualitas audit dan masih kebingungan dengan proxy yang akan di gunakan pak, Terimakasih pak sebelumnya.

 
 
Blogger Rahmat Febrianto Says:

Mbak Sadatun Nida,

Salah satu tugas auditor adalah memprediksi apakah perusahaan yang mereka audit akan tetap hidup atau bertahan usahanya (going concern) tahun depan. Untuk itu mereka harus bisa memastikan semua indikator yang berhubungan dengan keberlangsungan usaha tersebut cukup meyakinkan bahwa perusahaan tidak akan bangkrut. Oleh sebab itulah, kalau auditor berpendapat bahwa tetap berlanjut usahanya dan pada kenyataannya demikian, maka bisa dikatakan auditornya berkualitas. Sebaliknya, kalau auditor menyatakan bahwa perusahaan "aman-aman saja" namun kenyataannya di tahun berikutnya bangkrut, maka diduga auditor memiliki kualitas yang buruk. Demikian.

 
 
Blogger Unknown Says:

lantas jika saya menggunakan opini audit going concern sebagai proxy kualitas audit kira-kira untuk variabel independen yang mempengaruhinya lebih baik menggunakan apah yah pak?? dan apakah seluruh KAP sudah menerapkan spesialis auditor pak? saya dapat tugas KAP yang sudah menerapkan sistem spesialis itu apa ajah,apakah KAP BIG 4 saja atau KAP NON BIG 4 juga sudah ada yang menerapkan spesialis itu?? terimakasih pak.

 
 
Blogger Rahmat Febrianto Says:

Variabel independen adalah variabel yang memicu ketertarikan minat anda. Jadi anda yang menentukan apa variabel yang akan anda gunakan karena itulah variabel yang ingin anda teliti pengaruh atau hubungannya dengan variabel dependen. Untuk itu anda harus menggali literatur.

spesialiasi audit bukan diterapkan atau tidak. Auditor menjadi terspesialiasi pada satu industri karena mereka sering mengaudit perusahaan di industri tertentu atau memang karena mereka memiliki auditor yang berpengalaman untuk mengaudit suatu industri.

Apakah suatu KAP memiliki spesialisasi atau tidak? Lihat seberapa banyak kliennya dari setiap bidang industri. Itu salah satu indikasinya.

 
 
Blogger Unknown Says:

Terimakasih pak atas jawabannya,ini sangat membantu saya sebagai awal penyusunan skripsi

 

Leave a Reply