Isu metodologis riset pergantian (wajib) kantor akuntan publik dan auditor dan kualitas audit*

Ada dua isu metodologis yang berhubungan dengan masalah rotasi secara wajib dan kualitas audit ini. Pertama adalah rasionalitas dugaan bahwa rotasi secara wajib bisa meningkatkan kualitas audit. Isu yang kedua berhubungan dengan unit analisis.  
Rasionalitas hubungan pergantian auditor wajib dengan kualitas audit
Klaim seperti yang disampaikan oleh DeFond dan Francis (2xxx) bahwa tidak ada teori dan tidak ada bukti bahwa kualitas audit akan meningkat melalui rotasi wajib adalah klaim yang penulis duga adalah klaim yang bias. Beberapa penelitian memang tidak mendukung klaim mereka itu. Johnson, Khurana, dan Reynolds (2xxx) menemukan bukti bahwa pada perusahaan dengan tenure auditor yang lebih pendek (2-3 tahun) menunjukkan level akrual takekspektasian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan dengan tenure auditor medium (4-8 tahun). Sementara itu untuk perusahaan sampel dengan auditor tenure yang panjang (>9 tahun) mereka tidak menemukan bukti bahwa ada peningkatan yang secara statistik akrual takekspektasian dibandingkan dengan perusahaan sampel dengan auditor tenure medium. Myers, Myers, dan Omer (2xxx) menemukan bahwa auditor tenure yang lebih panjang berhubungan dengan kualitas laba yang lebih tinggi. Mereka mengukur kualitas laba menggunakan akrual abnormal absolut dan akrual sekarang absolut. Sehingga, klaim mereka, tidak ada bukti bahwa perputaran wajib atas auditor maupun kantor akuntan itu bisa meningkatkan kualitas laporan keuangan. Bukti justru menunjukkan bahwa tenure yang pendek berhubungan dengan kecurangan audit yang lebih tinggi dan kemungkinan kecurangan tersebut menurun ketika audit tenure bertambah lama (Carcello dan Nagy, 2xxx). 

Namun, tidak benar bahwa tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa rotasi akan meningkatkan independensi. Penelitian Dopuch et al. (2xxx) di atas jelas membuktikan bahwa rotasi secara wajib justru membuat independensi auditor lebih tinggi dibandingkan jika tidak ada aturan rotasi auditor maupun retensi auditor sama-sekali. Penulis memperhatikan bahwa peneliti yang menolak ide rotasi wajib, terutama DeFond dan Francis (2xxx), umumnya tidak mengutip bukti yang didapat oleh Dopuch et al. (2xxx) tersebut. Penulis menduga bahwa nilai penting riset tersebut akan lebih besar jika riset ini terbit setelah kasus Enron/Andersen terkuak dan akan makin kuat jika SOX telah diberlakukan. Sebelumnya, Casterella, Knechel, dan Walker (2xxx) menemukan bukti bahwa auditor tenure berhubungan positif dengan kualitas audit. Bukti yang lebih akhir diberikan oleh Carey dan Simnett (2xxx). Mereka meneliti apakah terjadi penurunan kualitas audit sehubungan dengan tenure seorang partner audit yang panjang dengan menggunakan tiga ukuran kualitas laba yang umum: propensitas auditor untuk menerbitkan opini audit going concern, pengujian atas arah dan nilai absolut dari akrual modal kerja abnormal, dan analisis tentang seberapa jauh target laba utama bisa dicapai atau tidak tercapai (beating or missing). Untuk observasi tenure partner yang panjang, mereka menemukan bahwa ada propensitas yang lebih rendah untuk menerbitkan opini going concern. Kemudian, tidak ada bukti adanya hubungan antara tenure audit yang panjang baik dengan arah maupun nilai absolut dari akrual modal kerja abnormal. Untuk ukuran kualitas audit yang ketiga, mereka menemukan bukti bahwa acuan laba dicapai untuk observasi tenure partner audit yang panjang. Menurut mereka, temuan ini, terkait dengan propensitas untuk menerbitkan opini audit going concern dan dengan seberapa jauh target laba utama tercapai atau tidak, menunjukkan bahwa ada perusakan kualitas audit sehubungan dengan tenure partner audit yang panjang. 
Sesuai dengan penjelasan di bagian awal, penulis lebih condong untuk mendukung ide perotasian wajib bagi kantor akuntan dan auditor demi mempertahankan independensi auditor. Tidak ada akademisi yang ragu untuk menyatakan bahwa auditor memang bisa tidak independen—seberapapun lamanya ia bertugas. Sebaliknya, tidak ada akademisi yang dengan yakin menyatakan bahwa auditor pasti selalu independen. Keraguan tersebut sudah ada, misalnya, sejak Mautz dan Sharaf (1xxx) karena konsep independensi tersebut terlalu abstrak dan sukar untuk diukur apalagi disaksikan oleh pihak lain yang berkepentingan dengan independensi auditor. Tidak penting seberapa lama auditor mengklaim bisa mempertahankan sikap independensinya sepanjang masa tugasnya, faktanya adalah independensinya telah “ternodai” sejak saat pertama mereka menerima fee dari klien mereka. Tidak peduli seberapa besar fee tersebut, dalam jangka panjang aliran pendapatan akan sedikit-banyak akan menciptakan ketergantungan. Fakta bahwa ia independen atau tidak adalah fakta yang hanya bisa diketahui oleh auditor dan kliennya, bukan hal yang bisa dicerap oleh pengguna informasi keuangan.

Penulis sepakat dengan pendapat Antle dan Nalebuff (1xxx) dan Kinney (1xxx) bahwa laporan keuangan harus dipandang sebagai laporan bersama antara auditor dengan manajemen perusahaan. Antle dan Nalebuff (1xxx) berpendapat bahwa laporan tersebut menjadi sebuah usaha bersama (joint venture) jika auditor tidak bersedia memberikan opini wajar tanpa pengecualian terhadap laporan manajemen. Pada titik ini, auditor dan klien memulai negosiasi di mana auditor kemudian akan menawarkan laporan revisian. Klien bisa mengancam akan memecat auditor dan mencari auditor lain yang lebih bersedia menerima pandangan manajemen. Kemungkinan lain, mereka memutuskan untuk memperluas audit untuk mendapatkan fakta yang lebih banyak. Pada akhirnya, kompromi akan terjadi, laporan direvisi, dan auditor menerbitkan opini wajar tanpa pengecualian atas laporan revisian tersebut. 
Jadi, jelas bahwa hanya kedua pihak ini yang memiliki pengetahuan relatif lebih luas dan dalam tentang kondisi keuangan perusahaan. Bahkan, pengetahuan auditor atas laporan keuangan itu sendiri terbatas sebanyak informasi yang diberikan kepada mereka dan mereka pandang memadai. Oleh karena itu, keharusan rotasi auditor dan kantor akuntan tidak boleh dipandang sebagai sebuah keraguan terhadap independensi auditor. Namun, sebaliknya, aturan tersebut harus dipandang sebagai cara untuk mengurangi risiko litigasi yang bisa ditanggung oleh auditor jika suatu saat informasi yang disampaikan manajemen perusahaan adalah informasi yang keliru.
Masalah-masalah yang muncul pada tahun-tahun pertama audit, seperti biaya pemulaian (start-up) audit yang tinggi dan risiko kekeliruan audit yang tinggi, adalah masalah yang bisa dipecahkan. Dopuch et al.(2xxx) menemukan bukti bahwa ketika kepada auditor diberlakukan aturan pergantian wajib, independensinya lebih tinggi daripada jika tidak ada aturan rotasi tersebut. Bahkan independensi tertinggi adalah jika kepada auditor diberlakukan aturan rotasi dan retensi wajib. Mereka menemukan bahwa ketika kedua aturan ini diberlakukan kepada kelompok subyek-auditor, frekuensi laporan yang bias ada pada level terrendah. Jadi, aturan tentang keharusan klien meretensi auditor selama waktu tertentu atau larangan untuk mengganti auditor sebelum mencapai tenure tertentu adalah salah satu pemecahan atas masalah-masalah yang muncul sehubungan dengan penugasan auditor pada klien baru. Bukti empiris jelas sudah tersedia.

Jadi dengan demikian jelas ada hubungan yang logis dan valid antara rotasi wajib dengan kualitas audit. Ketika harus mengaudit klien baru, auditor memiliki skeptisisme yang lebih tinggi terhadap klien ini. Sikap skeptis ini membuat auditor lebih berhati-hati dalam menjalankan prosedur auditnya. Auditor akan berusaha menghindari kekeliruan audit yang akan memberi dampak buruk kepada mereka. Sikap skeptis auditor ini dalam menjalankan tugas pada auditor yang baru ini yang kemudian akan membuat auditor melakukan pekerjaan yang lebih baik dan lebih berkualitas. 
Di sisi lain, penulis bahkan memiliki keyakinan bahwa hubungan antara tenure yang panjang dengan kualitas audit justru mungkin lemah. Tenure yang panjang hanya akan membuat auditor lebih paham dengan bisnis klien sehingga menganggap bahwa tugas mereka lebih mudah karena sudah menjadi rutinitas. Tenure yang panjang tersebut bisa membuat auditor menjadi kehilangan sikap skeptisismenya karena beranggapan bahwa klien mereka akan berperilaku sama dari perioda ke perioda. Jika auditor telah kehilangan sikap skeptisismenya ini, maka ada kemungkinan bahwa mereka akan menerapkan prosedur audit yang longgar. Klien yang curang akan bisa memanfaatkan peluang ini. Jika ini terjadi maka tenure justru bukan meningkatkan kualitas audit, namun justru sebaliknya. 

Penulis sadar bahwa kedua pendapat tersebut bisa diperdebatkan. Namun, yang jelas adalah klaim atau pernyataan bahwa tidak ada teori maupun bukti bahwa kualitas audit lebih baik ketika masa tugas auditor dibatasi adalah sebuah klaim yang bias. Justru sebaliknya, lebih banyak bukti yang menunjukkan bahwa auditor tidak lagi bersikap independen ketika mereka telah terlibat terlalu dalam dengan kliennya, baik menurut ukuran lama penugasan maupun jenis penugasan.
Level unit analisis
Isu unit analisis adalah isu penting yang harus diperhatikan peneliti. Unit analisis variabel “kualitas audit” ada dua: auditor secara individu dan kantor akuntan publik. Peneliti seringkali mengabaikan perbedaan kedua hal ini karena mungkin sulit untuk membedakan secara tegas antara hasil pekerjaan auditor yang ditugasi untuk sebuah tugas audit dengan hasil pekerjaan kantor akuntan. Auditor bekerja menggunakan prosedur audit yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Ia bisa saja mematuhi aturan itu atau, sebaliknya, bisa saja tidak mematuhinya. Apapun hasil pekerjaannya, opini auditor tidak lepas dari opini kantor akuntan publik. Makanya, tidak jarang peneliti mengabaikan masalah ini.  

Nagy (2xxx) misalnya mengukur perbedaan kualitas laporan keuangan eks-klien Andersen yang diaudit oleh kantor akuntan yang baru pengganti Andersen yang telah bubar. Kualitas laporan keuangan—yang ia pertukarkan dengan kualitas audit—diukur dengan akrual diskresioner. Akrual diskresioner eks-klien Andersen diekspektasi akan lebih rendah ketika mereka diaudit oleh auditor baru karena sikap auditor baru yang lebih konservatif terhadap eks-klien Andersen. Nagy tidak secara eksplisit menunjukkan bahwa ia membedakan antara kualitas auditor yang menjalankan pekerjaan itu dengan kualitas kantor akuntan yang mengaudit eks-klien Andersen.
Memang tidak mudah untuk membedakan apakah keberadaan akrual diskresioner yang menurunkan laba pada eks-klien Andersen adalah hasil dari pekerjaan auditor yang bertugas ataukah hasil dari penggunaan prosedur audit yang telah ditetapkan oleh kantor akuntan tempat auditor tersebut berada. 

Penulis lebih cenderung menyatakan bahwa penelitian dengan unit analisis individu auditor seharusnya adalah penelitian yang berhubungan tugas atestasi atas sebuah informasi. Auditor memang ditugaskan oleh kantornya, namun kualitas dari tugas yang ia jalankan lebih berhubungan dengan kualitas ia sebagai seorang pribadi dibandingkan dengan kualitas kantor akuntan. Ia memang menggunakan prosedur audit yang dimiliki oleh kantor tersebut, namun, sesuai dengan Watkins, Hillisons, dan Morecroft (2xxx), penggunaan prosedur atau teknologi audit dengan benar adalah lebih penting daripada kemilikan prosedur audit. Dalam hal ini, yang menggunakan prosedur audit dalam sebuah penugasan adalah auditor, bukan kantor akuntan, sehingga kualitas audit adalah kualitas auditor di dalam penugasan tersebut. Kantor hanya sebagai penyedia sumberdaya dan dalam hal tertentu tidak memiliki kemampuan untuk memastikan bahwa prosedur audit tertentu telah dijalankan atau tidak.
Pertanyaannya, penelitian manakah yang menggunakan unit analisis kantor akuntan publik? Jawaban atas pertanyaan ini cukup sulit karena, seperti penelitian Nagy (2xxx) di atas, walaupun auditor melakukan tugas secara individual dan mereka dalam beberapa hal bertanggungjawab atas pekerjaan mereka, auditor harus mematuhi prosedur yang dibuat oleh kantor akuntan mereka. Barangkali contoh penelitian tentang kualitas auditor dengan unit analisis kantor akuntan adalah penelitian yang dilakukan oleh Colbert dan Murray (1xxx). Yang mereka teliti memang adalah peringkat sebuah kantor akuntan menurut hasil dari AICPA’s Private Companies Practice Section (PCPS) Peer Review Program. Colbert dan Murray (1xxx) di sini memang ingin mengetahui apakah kualitas kantor akuntan, yang diukur dengan program peer review di atas, berhubungan dengan ukuran kantor akuntan. Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa unit analisis penelitian ini adalah kualitas kantor akuntan.

Simpulan yang bisa ditarik adalah bahwa peneliti harus memperhatikan unit analisis. Tidak bisa menyatakan bahwa sebuah unit analisis adalah auditor individual hanya ketika subyek penelitian adalah partner audit seperti pada penelitian Carey dan Simnett (2xxx). Peran auditor secara individual lebih besar dalam penerapan satu prosedur audit dibandingkan dengan peran kantor akuntan karena jika tidak maka perhatian SOX tidak pula akan secara khusus diberikan pada rotasi partner auditor. Walau demikian, mungkin dibutuhkan penelitian yang lebih jauh juga untuk menentukan siapa yang lebih berpengaruh terhadap, misalnya, opini audit: apakah partner auditor atau kantor akuntan sebagai sebuah kesatuan.
Pengukuran
Masalah terbesar penelitian yang meneliti kualitas audit, baik sebagai variabel independen maupun variabel dependen, adalah ukuran kualitas audit. Ada dua hal yang menurut penulis penting diperhatikan oleh terkait dengan masalah pengukuran ini. Pertama, kualitas audit harus didefinisikan dengan tepat. Definisi DeAngelo (1xxx) bisa digunakan. Kualitas audit seharusnya berhubungan dengan pekerjaannya dan oleh karena itu hanya atas dasar kualitas pekerjaan kualitas diukur. Kualitas memang tidak akan sama antar kantor akuntan, apalagi antar kantor dengan ukuran yang berbeda secara material. Kualitas kantor berukuran besar dengan kantor yang hanya berskala lokal atau regional pasti akan berbeda. Kualitas auditor yang berpengalaman mengaudit di suatu industri memang akan berbeda dengan auditor yang tidak berpengalaman mengaudit di industri tersebut. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kualitas audit atau kualitas auditor bisa diukur dengan ukuran kantor akuntan atau spesialisasi kantor akuntan. Perbedaan kualitas memang terbukti terjadi antar ukuran kantor akuntan, namun bukan berarti bahwa ukuran kantor akuntan tersebut adalah kualitas audit atau kualitas auditor. Kasus Enron cukup untuk menunjukkan bahwa proksi tersebut tidak valid. 

Terkait dengan hal itu, peneliti harus bisa membedakan antara kualitas persepsian dan kekuatan pemonitoran. Penjelasan tentang kedua hal ini telah ada di bagian di atas atau bisa dilihat pada paper Watkins et al. (2xxx) yang salah satu inti dari paper tersebut adalah bahwa ukuran kantor akuntan bukanlah ukuran kualitas aktual, namun hanya persepsi dan berhubungan dengan kinerja di masa lalu. Salah satu contoh kekuatan pemonitoran adalah kemampuan auditor untuk memberi opini audit sesuai dengan kondisi perusahaan sehingga bisa mengurangi kekeliruan opini tipe I dan II. Contoh penelitian seperti ini adalah Geiger dan Rama (2xxx).
Kedua, ukuran kualitas audit harus disesuaikan dengan unit analisis. Peneliti hendaknya tidak keliru menggunakan ukuran kualitas auditor individual untuk menunjukkan kualitas kantor akuntan. Ukuran kantor akuntan—kalau dipaksakan ingin tetap dipakai—sebagai proksi kualitas audit sebenarnya lebih sesuai sebagai ukuran kualitas kantor akuntan daripada kualitas pekerjaan seorang auditor. Di sisi lain, akrual diskresioner atau akrual abnormal yang sekarang banyak digunakan untuk mengukur kualitas laporan keuangan—sebagai surogasi kualitas audit—lebih sesuai sebagai ukuran kualitas auditor individual, bukan kualitas kantor akuntan publik. Selain karena di dalam setiap tugas hanya ada satu auditor kepala yang bertugas, bukannya sebuah kantor akuntan, kualitas pekerjaan seorang auditor bisa berbeda di setiap penugasan, tergantung dari banyak faktor. Faktor tersebut bisa berhubungan dengan klien, misalnya kompleksitas bisnis klien dan risiko klien; kompetensi auditor, misalnya pengalaman auditor, pelatihan atau pendidikan auditor; maupun independensi auditor, seperti lama auditor menjadi auditor kepala di klien tersebut, persentase fee yang ia terima dari klien tersebut dibandingkan dengan total pendapatannya.

Simpulan yang bisa penulis sampaikan adalah bahwa ukuran kualitas harus memang mengukur hasil pekerjaan auditor. Peneliti tidak seharusnya menggunakan variabel lain yang bervariasi dengan kualitas audit sebagai ukuran kualitas audit. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk secara tepat mendefinisikan secara operasional kualitas audit yang akan ia ukur. Definisi operasional yang keliru akan mendorong simpulan penelitian yang juga keliru.



Sleman, May 2009
*Catatan kepada pembaca. Anda bisa memanfaatkan semua bahan di sini untuk tujuan keilmuan, misalnya dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan penelitian di dalam paper ini untuk keperluan penelitian anda. Semua tulisan di paper ini, termasuk artikel-artikel lain di blog ini adalah karya asli dan untuk itu bisa dijadikan acuan secara ilmiah--misalnya dengan cara memberi kredit kepada link ini. Namun, untuk mencegah penjiplakan karya, saya meniadakan keterangan rinci tentang sumber bacaan--itupun hanya dengan menghilangkan tiga digit akhir dari tahun penerbitan artikel sumber. Pembaca yang berminat dengan masalah ini, termasuk membutuhkan semua bahan acuan saya, bisa mengirimkan email melalui formulir komentar di blog ini.

Label: ,

By Rahmat Febrianto On Minggu, 24 Mei 2009 At 12.05