Proksi kualitas auditor*

(Saat ini, artikel saya ini dan dua artikel yang lain yaitu ini dan ini telah dipinjam tanpa izin di http://perpusol-samsam.blogspot.com/search/label/AUDITING.)


Bertahun-tahun peneliti akuntansi, terutama pengauditan, secara tidak sadar terkecoh dengan proksi kualitas audit atau kualitas auditor. Mereka biasanya mengacu kepada DeAngelo (1981) sebagai dasar untuk menggunakan ukuran kantor akuntan publik (KAP) sebagai proksi kualitas audit. Padahal, DeAngelo menyatakan bahwa yang ia maksud dengan kualitas audit adalah:


"the market-assessed joint probability that a given auditor will both (a) discover a breach in the client's accounting system and (b) report the breach".


Jelas di dalam pernyataan itu adalah bahwa kualitas ditentukan oleh kompetensi dan independensi auditor. Auditor yang kompeten adalah auditor yang bisa menemukan adanya pelanggaran sedangkan auditor yang independen adalah auditor yang "bersedia" melaporkan" pelanggaran tersebut.


Kedua, pernyataan di atas didasarkan pada asumsi DeAngelo bahwa kualitas ditentukan dari sisi suplai audit saja, yaitu dari sisi auditor, tidak dari sisi permintaan, yaitu klien. Konsekuensi dari asumsi tersebut adalah DeAngelo hanya mempertimbangkan kualitas atas dasar apa yang bisa diberikan oleh auditor, bukan apa yang juga diminta atau dibutuhkan oleh klien. Selain itu juga mengabaikan, misalnya, kualitas sistem informasi klien, risiko klien, dll.


Ketiga, yang paling penting, frasa "market-assessed" menunjukkan bahwa kualitas audit ditentukan oleh penilaian pasar. Implisit dari pernyataan ini adalah bahwa kualitas auditor diukur dari persepsi pengguna laporan keuangan tentang kualitas auditor atau dengan kata lain adalah reputasi auditor.


Apakah reputasi bisa menunjukkan kualitas? Reputasi adalah perspektif masa lalu. Seseorang yang bereputasi baik adalah orang yang dari dulu hingga sekarang dianggap memiliki kualitas baik. Demikian juga auditor.


Mengapa KAP besar (8/6/5/4/3) adalah auditor dengan reputasi baik? Selain dengan dasar apa yang telah dilakukan oleh KAP tersebut di masa lalu, reputasi juga didasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh KAP tersebut. Semakin besar sebuah KAP, semakin besar sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya yang lebih besar diekspektasi memiliki hubungan dengan kualitas audit yang juga baik.


Tapi, mana yang lebih penting antara kepemilikian sumber daya dibandingkan dengan penggunaaan sumber daya?


Kasus Enron/Andersen adalah bukti bahwa penggunaan sumber daya (untuk tujuan pemberian opini yang independen) lebih penting daripada kepemilikan sumber daya. Andersen adalah sebuah KAP yang besar namun reputasinya di masa lalu justru tidak menunjukkan bahwa ia akan selalu memiliki kualitas audit yang baik.


Apakah reputasi audit tetap bisa dijadikan ukuran kualitas audit?


Kasus Enron/Andersen menunjukkan bahwa kualitas tidak sama sekali bisa diukur dengan ukuran KAP. Dari awal DeAngelo memaksudkan bahwa ukuran KAP adalah proksi bagi reputasi auditor. Namun, ia sendiri dengan sengaja, sepertinya, memaksakan reputasi audit sebagai proksi bagi kualitas audit. Menurut saya, ini terjadi karena belum adanya ukuran kualitas audit yang mapan--bahkan hingga sekarang.


Watkins, Hillison, dan Morecroft (2004) memisahkan antara persepsi tentang kualitas audit dengan kualitas audit itu sendiri. Persepsi tentang kualitas audit itu adalah, mengikuti DeAngelo, reputasi auditor. Sedangkan kualitas audit adalah kemampuan auditor untuk memastikan bahwa kecurangan tidak terjadi (setidaknya secara material) dan "berani" melaporkan adanya kecurangan tersebut.


Jadi, bagaimana mengukur kualitas audit? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Kualitas sebuah pekerjaan sangat erat hubungannya dengan apa yang dilakukan seseorang di dalam pekerjaannya dan hasil pekerjaannya. Artinya, kualitas bisa bervariasi antar pekerjaan atau penugasan. Dua laporan akuntan publik yang dihasilkan dari satu kantor akuntan yang sama bisa memiliki kualitas yang berbeda.


Kualitas audit tidak bisa dipastikan sama antar penugasan karena ada dua sisi yang mempengaruhinya: auditor dan klien. Kepemilikan sumber daya audit yang besar oleh auditor tidak mesti akan menghasilkan sebuah laporan keuangan yang bebas dari kecurangan. Auditor sendiri memiliki persepsi awal tentang klien, seperti risiko pengauditan atas klien. Auditor yang salah persepsi tentang risiko bisnis klien akan menghasilkan pendapat yang juga keliru.


Pasokan informasi dari klien turut mempengaruhi pekerjaan auditor. Selain itu adalah konflik keagenan di dalam diri klien. Konflik itu tidak akan sama setiap tahun--walau juga tidak setiap tahun akan berubah--misalnya karena perubahan komposisi kepemilikan atau keluar/masuk bursa saham.


Saat ini ada tren besaran akrual diskresioner (terutama yang abnormal) sebagai proksi kualitas audit. Audit yang berkualitas adalah audit yang membuat perusahaan tidak melaporkan akrual diskresioner yang abnormal.


Tepatkah? Debatable, memang.


Pendapat yang tidak menyetujui berpijak bahwa akrual diskresioner adalah proksi bagi manajemen laba. Auditor tidak ditugaskan dan tidak menelisik keberadaan manajemen laba di dalam perusahaan. Sepanjang bahwa perusahaan mematuhi GAAP dan memiliki dasar yang kuat bagi setiap akrual mereka, maka akrual diskresioner tidak akan mempengaruhi opini audit. Sehingga, akrual diskresioner bukanlah ukuran kualitas audit.


Di sisi lain, pendapat yang mendukung menyatakan bahwa auditor memiliki tugas untuk memastikan bahwa laporan keuangan bebas dari kecurangan. Tugas auditor saat ini, menurut mereka, beralih kepada aspek legal (dalam hal ini adalah GAAP). Padahal ekspektasi pengguna tetap pada kemampuan mereka menemukan dan melaporkan kecurangan. Nah, salah satu ukuran kecurangan di dalam akuntansi adalah besaran akrual diskresioner.


Inti dari artikel ini ada dua. Pertama, jika anda hendak mengukur kualitas audit jangan mengukur dengan reputasi mereka (dalam hal ini diproksi dengan ukuran kantor akuntan publik). Dimensi kualitas dengan reputasi tidaklah sama. Kedua, peneliti yang hendak menggunakan akrual diskresioner sebagai proksi kualitas juga harus berhati-hati. Persepsi orang tentang akrual ini lebih condong pada manajemen laba--sesuatu yang tidak dipandang merupakan tugas auditor untuk menemukannya.


Benarkah demikian?


Bahasan tentang hal ini akan ada di artikel selanjutnya.




Sleman, April 2009


By Rahmat Febrianto On Rabu, 01 April 2009 At 09.22