Sambalado biru: Validitas versus reliabilitas

By Rahmat Febrianto On Senin, 27 Agustus 2012 At 06.55


Pernah mendengar nama sambalado, atau sambal dalam bahasa Indonesia, sambalado biru? Saya yakin hanya segelintir orang yang tahu dengan sambal jenis ini atau berwarna ini. Sebagian besar yang lain tidak akan percaya bahwa ada nama sambal dengan warna biru karena cabe hanya memiliki dua warna: hijau dan merah.

Namun, yakinlah bahwa sambal jenis ini ada dan sebagian masyarakat Payakumbuh, terutama, setahu saya, yang tinggal atau berasal dari Kenagarian Tujuah Koto Talago (dan mungkin saja di beberapa kenagarian yang lain) tahu dengan sambal ini. 

Tampilan sambal itu kurang-lebih seperti gambar di bawah ini--walau, jujur nih, wujudnya tidak seperti ini, setidaknya yang lekat di benak saya! Nanti kalau sudah terhidang di depan saya akan saya foto dan pajang.


Ya, sambalado biru itu tidak lain adalah sambal yang dibuat dari cabe hijau!

Mengapa disebut dengan sambalado biru? Apakah orang-orang Payakumbuh, khususnya kampung saya, buta warna, yang tidak bisa membedakan biru dengan hijau. Sama-sekali tidak demikian. Jika anda menanyakan resepnya kepada mereka, pasti mereka akan menyebutkan bahwa anda harus mencari cabe muda berwarna hijau, bukan biru. Jadi ini hanya masalah penamaan dan konsensusnya, terutama untuk sambal jenis ini.

Sekali lagi, masalah sambalado biru adalah konsensus persepsi masyarakat setempat. Artinya, setiap kali anda menanyakan kepada masyarakat setempat, mereka akan mengatakan bahwa namanya adalah sambalado biru.

Warna biru memiliki panjang gelombang antara 450-480 nm, sedangkan warna hijau memiliki panjang gelombang 480-560 nm. Jadi, ketika anda memikirkan atau membicarakan warna biru, maka warna yang anda pikirkan atau bicarakan itu adalah warna di antara rentang panjang gelombang 450-480 nm; sedangkan ketika anda memikirkan atau membicarakan warna hijau, maka ia adalah warna pada rentang 480-560 nm.


Kembali ke masalah "biru" pada sambal tadi, setiap kali masyarakat setempat anda tanyai dan mereka menjawab "biru", maka anda tahu bahwa ada perbedaan antara biru secara faktual (yaitu warna dengan panjang gelombang 480-560) dengan secara perseptual (yaitu warna dengan panjang gelombang 450-480 nm) masyarakat setempat. Jika anda melakukan belasan kali pengamatan, misalnya dengan menanyai selusin orang, dan mereka selalu menjawab "biru" untuk sambal berwarna hijau, maka anda akan menyimpulkan, berdasarkan sampel itu, bahwa ada ketidaktepatan jawaban dengan fakta. Dan, ketidaktepatan itu konsisten pada satu area.

Mari kita ibaratkan setiap observasi itu dengan sebuah tembakan dari sebuah senapan ke papan sasaran yang memiliki sasaran tembak berbentuk lingkaran kecil hingga besar, yang mana lingkaran terkecil adalah sasaran yang seharusnya dituju oleh senapan tersebut jika senapan itu bisa menembak sasaran dengan jitu, akurat. Jika senapan menembak di luar dari lingkaran terkecil itu, maka senapan itu dikatakan tidak akurat.

Jika jawaban "hijau" adalah wilayah di lingkaran paling kecil di tengah sasaran dan menggambarkan ketepatan persepsi hijau dengan fakta hijau, maka lingkaran yang lebih besar adalah simpangan dari jawaban hijau. Dalam kasus sambalado biru ini, kita mendapatkan konsistensi jawaban masyarakat setempat bahwa hijau disebut dengan biru: mereka konsisten menyebut sambalado hijau sebagai sambalado biru. Dalam diagram di bawah ini, pola jawaban tersebut adalah seperti pola tembakan yang ditunjukkan oleh gambar kanan atas. Sebanyak, kurang-lebih, 17 observasi konsisten berada di wilayah yang berdekatan, namun, kita tahu, mereka keliru karena tidak "menembak" ke lingkaran terkecil sasaran.

Seandainya pertanyaan yang sama diajukan ke wilayah yang lain, yang cukup jauh dari Payakumbuh, maka anda mungkin akan bisa berharap bahwa responden akan menjawab sambalado hijau itu adalah hijau, bukan biru. Dengan kata lain, kita bisa mendapatkan kesesuaian antara konsensus dengan fakta. Dalam diagram yang sama, peta jawaban itu adalah seperti pola tembakan di kanan bawah.



Di dalam konteks penelitian ilmiah, masalah "sambalado biru" ini dikenal dengan masalah validitas dan reliabilitas. Kata "valid" menurut definisi di thefreedictionary[dot]com "...is based on or borne out by truth or fact or has legal force". Sedangkan kata "reliable" adalah "...yielding the same or compatible results in different clinical experiments or statistical trials".

Dengan demikian, validitas berhubungan dengan ketepatan pengamatan atau observasi kita dengan fakta dari apa yang hendak kita amati. Pengamatan yang valid adalah, misalnya, jika seorang peneliti menggunakan satu metoda penelitian kepada berbagai responden, atau beberapa peneliti menggunakan berbagai metoda penelitian, mendapatkan respon bahwa gambar di atas adalah sambalado hijau atau sambal cabe hijau dan faktanya cabe yang digunakan memang cabe yang memiliki panjang gelombang 480-560 nm.

Sementara itu, reliabilitas (=andal) berhubungan dengan konsensus atau kesepakatan hasil observasi yang berulang-ulang. Makna konsensus tidak sekaligus berarti bahwa ia berhubungan dengan fakta, ia hanya berhubungan dengan kesamaan (atau kedekatan) hasil observasi. Contohnya, konsensus penamaan biru untuk hijau di atas. Atau jika kembali kepada gambar tembakan senapan di atas, adalah seperti gambar di kanan atas tersebut: senapan tersebut andal, namun gagal menembak sasaran.

Setiap peneliti harus menyadari bahwa setiap kali ia melakukan penelitian, mereka secara implisit sedang menguji reliabilitas dan validitas senapannya. Senapannya bisa saja menuju sasaran yang sama dengan yang dicapai oleh peneliti sebelumnya, atau tidak. Jika ia berhasil menembak sasaran yang sama dengan orang lain, tembakannya bisa jadi telah berhasil mengenai sasaran yang sesungguhnya (artinya senapannya sama validnya dengan senapan orang sebelumnya), yaitu gambar kanan bawah, sehingga hasil penelitiannya valid dan andal; atau ia hanya mengenai sasaran yang sama dengan orang yang sebelumnya, namun tidak mengenai sasaran yang sesungguhnya (artinya senapannya tidak valid, namun sama andal dengan senapan orang sebelumnya), yaitu gambar kanan atas.

Peneliti yang tidak berhati-hati memilih alat, model, atau metoda bisa terjebak membuat simpulan seakan-akan ia telah menemukan fakta atau kebenaran--padahal bukan--hanya karena ia mendapatkan simpulan yang sama dengan pengamatan atau observasinya yang lalu atau dengan observasi orang lain. Ia terjebak untuk menyimpulkan bahwa simpulannya valid dan bahwa ia berhasil mengamati fakta.

Contoh yang cukup mudah dicerna adalah fenomena melihat fatamorgana berupa genangan air di tengah padang pasir atau jalan raya di siang hari yang terik. Jika anda saat itu bersama dengan beberapa teman anda bisa melihat genangan air di depan anda, maka apakah berarti faktanya ada air? Bisa jadi ada air, bisa jadi tidak ada sama-sekali. Fakta bahwa anda sama-sama melihat air tidak berarti bahwa air itu ada. Pengamatan anda semua sama-sama andal, namun belum tentu valid.



Anda yakin pengamatan atau penelitian anda valid? Berhati-hatilah.



Pulau Lombok,  27 Agustus 2012

Sumber gambar dan informasi tambahan:
http://precisionconsultingcompany.com/designandco_144_la_0.jpg
http://img.inforesep.com/wp-content/uploads/2009/09/inforesep-sambal-hijau.jpg
http://www.edupaint.com/warna/ragam-warna/1639-intip-yuk-panjang-gelombang-dari-masing-masing-warna.html
http://www.langitberita.com/wp-content/uploads/2011/06/fata-morgana.jpg

for this post

Leave a Reply