Penggunaan kuesioner terjemahan

Iklim penelitian di luar negeri diakui atau tidak memang lebih kondusif dibandingkan dengan iklim di dalam negeri. Mungkin tidak mesti bahwa riset unggulan itu diterbitkan oleh peneliti dari AS dan Inggris atau negara-negara berbahasa Inggris lain, namun jumlah jurnal ilmiah yang terbit dalam bahasa Inggris jauh lebih banyak dibandingkan dengan jurnal berbahasa lokal negara manapun. Hal ini sebagian disebabkan memang karena sumbangan dari peneliti-peneliti di negara berbahasa Inggris tersebut, namun sebagian lagi disebabkan oleh sumbangan dari peneliti dari negara-negara non-berbahasa Inggris ke jurnal-jurnal tersebut.


Peneliti dari negara-negara lain banyak yang menggunakan penelitian-penelitian asing (dalam hal ini berarti adalah yang ditulis dalam bahasa Inggris) untuk berbagai keperluan. Pertama, tentu saja, untuk kebutuhan studi literatur. Kedua, untuk tujuan penyusunan kerangka teoretis. Ketiga, untuk meminjam disain riset. Terakhir, untuk meminjam instrumen untuk mengukur variabel-variabel yang sama dengan penelitian yang diacu.


Jika sebuah variabel bisa diukur secara obyektif, misalnya, laba, penjualan, pangsa pasar, dll, maka pengadopsian ukuran itu ke dalam penelitian di Indonesia tidak akan terlalu sulit. Masalah baru timbul jika variabel yang hendak diukur tersebut bersifat subyektif. Variabel seperti kepuasan pelanggan, kepuasan kerja, penerapan strategi, independensi auditor, dll adalah contoh variabel-variabel subyektif yang berasal dari persepsi responden atau informan.


Ada beberapa cara untuk mengukur sebuah variabel subyektif/perseptual tersebut. Penggunaan kuesioner adalah salah satunya. Banyak jurnal di luar negeri mengharuskan peneliti menyertakan kuesioner yang mereka gunakan di dalam artikel mereka. Tujuan penyertaan itu tidak lain adalah agar orang lain bisa dengan cepat melanjutkan pengembangan ilmu, sebab bukan merupakan hal yang mudah dan sebentar untuk mengembangkan sebuah kuesioner. Karena itulah, tidak sedikit kuesioner yang telah digunakan di dalam penelitian-penelitian asing dipinjam dan dipakai di Indonesia.


Ada satu prosedur yang tidak boleh diabaikan oleh peneliti yang meminjam kuesioner dari luar negeri tersebut. Ia tidak cukup hanya menerjemahkan kuesioner tersebut dari bahasa Inggris, misalnya, langsung ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian langsung menggunakannya. Lepas dari kecakapan peneliti atau penerjemah lain menerjemahkan kuesioner tersebut ke dalam bahasa lokal, seseorang lain yang independen dari penerjemahan pertama (dari Inggris ke Indonesia) harus diminta untuk menerjemahkan kuesioner tersebut kembali ke bahasa Inggris. Tujuannya, memeriksa apakah makna setelah pentranslasian ulang ke Inggris itu akan tetap sama dengan maksud asli di kuesioner pertama yang berbahasa Inggris tadi. Jika ada perbedaan makna antara petranslasian-ulang tersebut dengan naskah asli, maka ada kemungkinan bahwa terjemahan ke dalam bahasa Indonesia tidak dilakukan dengan tepat dan berisiko melencengkan makna yang dituju oleh kuesioner awal. Dalam beberapa kasus, peneliti lain bahkan kembali mentranslasi lagi ke dalam bahasa Indonesia kuesioner yang telah ditranslasi-ulang ke bahasa Inggris tadi. Kali ini yang dibandingkan adalah kecocokan makna antara translasi ke dalam bahasa Indonesia yang pertama kali dengan yang kedua kali.


Dengan kata lain, sebuah kuesioner dalam bahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh orang yang memiliki kecakapan yang relevan dengan riset dan paham dengan bahasa asal (Inggris) dan bahasa sasaran (Indonesia). Kemudian, orang lain, independen dari orang yang pertama dan belum pernah melihat kuesioner asli dalam bahasa Inggris, harus menerjemahkan kuesioner terjemahan itu kembali ke dalam bahasa asal. Ketidaksesuaian makna antara yang asli dengan terjemahan-ulang menunjukkan bahwa kuesioner dalam bahasa Indonesia (terjemahan) tidak memiliki makna yang serupa dengan kuesioner yang asli. Jika ingin lebih hati-hati lagi, maka harus ada penerjemahan ulang lagi ke dalam bahasa Indonesia sekali lagi. Perbedaan antara terjemahan pertama dengan yang kedua ke dalam bahasa Indonesia mengindikasikan bahwa kuesioner itu memang keliru menangkap fenomena yang dimaksud oleh peneliti.




Sleman, November 2008

Label: ,

By Rahmat Febrianto On Sabtu, 29 November 2008 At 14.47

Independensi auditor*

*(Saat ini, artikel saya ini dan dua artikel yang lain yaitu ini dan ini telah dipinjam tanpa izin di http://perpusol-samsam.blogspot.com/search/label/AUDITING.)



Setelah kecurangan Enron terbongkar, auditor dilarang untuk selama-lamanya mengaudit satu auditee yang sama. Tujuannya adalah untuk mencegah agar auditor tidak "terperangkap" dengan auditor yang sama dan mereka kemudian akan terpancing untuk saling bersekongkol. Sehingga, dengan berbagai variasi di berbagai yurisdiksi, auditor harus diganti setelah lima hingga enam tahun secara berturut-turut mengaudit sebuah auditee.

Di Indonesia, dari bisik-bisik diketahui bahwa auditor cenderung hanya saling mempertukarkan klien mereka. KAP X akan menukar kliennya, klien A, dengan klien B dari KAP Y. Artinya, klien A yang telah lima tahun diaudit oleh X akan "diberikan" kepada KAP Y dan sebaliknya--saling-tukar itu bisa terjadi di dalam waktu yang bersamaan maupun tidak

Modusnya, ketika KAP Y menjadi auditor bagi A, pelaksanaan audit bisa jadi tetap dilakukan oleh KAP X. Tugas KAP Y hanya sebagai penandatangan laporan dan untuk praktik ini mereka akan mendapatkan imbalan dari KAP X.

Jika semangat dari keharusan pergantian auditor itu adalah agar auditor tetap bisa independen terhadap kliennya, maka jika praktik ini berlaku jamak di Indonesia kita bisa mencurigai independensi KAP di Indonesia.

Ini adalah satu pertanyaan empiris. Kita bisa menduga bahwa level independensi auditor yang hanya menjadi "tukang stempel" akan lebih rendah daripada independensi auditor yang mendapatkan klien dengan cara yang wajar--misalnya melalui penawaran.

Praktik pertukaran ini bisa terjadi antar KAP dengan kelas yang sama atau antara KAP besar dengan KAP yang lebih kecil. Jika dua KAP itu berbeda ukuran, biasanya yang "menyerahkan" klien adalah KAP besar ke KAP yang lebih kecil--dan jarang sebaliknya.

Jika KAP yang menerima klien memiliki ukuran yang relatif sama dengan KAP yang menyerahkan dugaan saya akan lebih independen dibandingkan dengan KAP yang menerima klien dari KAP yang memiliki ukuran yang lebih besar. Logikanya, dua KAP berukuran sama akan memiliki klien berukuran sama dan dengan fee yang juga sama; KAP besar akan memiliki klien yang lebih besar dan fee yang juga lebih besar. Sehingga, jika KAP yang saling bertukar itu berukuran sama, independensi mereka mengaudit klien akan lebih besar dibandingkan dengan KAP yang mendapat klien dari penyerahan oleh KAP besar. Namun, independensi tertinggi adalah pada KAP yang mendapatkan klien selain dari penyerahan.



Sleman, November 2008

Label: , ,

By Rahmat Febrianto On Sabtu, 22 November 2008 At 00.50

Kompensasi eksekutif, aktivitas perusahaan, dan rasio gaji CEO dengan karyawan

Jika upah minimum propinsi diambil rata-rata adalah Rp.1.000.000 per bulan, berapa kira-kira gaji seorang direktur utama (CEO) perusahaan di Indonesia? Ambil saja gaji CEO PT. Telkom sebagai sebuah perbandingan. Menurut data tahun 2007, gaji yang diterima oleh CEO Telkom adalah Rp.118 juta (http://ariefmustain.telkom.us/2007/07/11/gaji-dirut-rp-118-juta/ diambil 17/11/08). Dengan perbandingan itu maka rasio antara gaji CEO dengan gaji seorang buruh terrendah adalah 118:1. Bisik-bisik di internet di berbagai forum diskusi yang saya pantau, CEO Bank Mandiri bahkan digaji Rp.800 juta sebulan! Rasionya bisa 800:1. Itu mungkin baru kompensasi tunai, belum opsi saham, fasilitas, dll.


Apakah angka ini rendah atau tinggi? Di AS, rasionya adalah 400:1 dengan rata-rata pegawai. Sementara di Eropa rasionya hanya 30 s/d 40 berbanding 1.


Jika rasio di Indonesia itu adalah hanya perbandingan antara CEO dengan pegawai terrendah, namun cukup valid kita gunakan karena komposisi perusahaan di Indonesia memang ada pada level kelas bawah. Kalau angka moderat kita ambil, maka rasionya, katakan, sekitar 100:1.


Apa arti perbedaan yang besar ini, terutama bagi penelitian akuntansi?


Anderson, Banker, & Janakiram (2003) menemukan sebuah simpulan yang menarik. Mereka melihat bahwa ketika aktivitas perusahaan meningkat, maka biaya-biaya akan meningkat. Misalnya, perusahaan akan membuka toko baru, pabrik, mempekerjakan pegawai lebih banyak, dll. Sehingga, ada hubungan positif antara kenaikan aktivitas dengan kenaikan biaya-biaya.


Namun, bagaimana kalau aktivitas menurun? Bagaimana kalau resesi seperti sekarang ini terjadi? Apakah perusahaan akan menurunkan juga biaya-biayanya?


Jawaban yang mereka dapatkan justru menunjukkan bahwa para manajer enggan menurunkan biaya-biaya tersebut. Salah satu penjelasan dari perilaku ini adalah perilaku moral hazard. Mereka tidak mau menurunkan biaya-biaya, misalnya, dengan menutup sebagain toko karena mereka takut hal itu akan menjadi dasar pengukuran kinerja mereka. Alih-alih menurunkan biaya, mereka cenderung menunggu dulu hingga penurunan itu benar-benar material. Maksudnya, jika penurunan aktivitas itu hanya, misalnya, 5-10%, maka mereka cenderung akan menunda, misalnya, penutupan sebuah pabrik, kantor cabang, dll.


Penelitian Anderson dkk ini telah diuji lagi oleh beberapa penelitian lain. Salah satu hal yang menarik bagi saya adalah saran dari Anderson dkk bahwa harus ada penelitian atas komponen-komponen biaya yang tidak menurun ketika aktivitas menurun tersebut. Di dalam laporan laba rugi kita tahu bahwa ada banyak biaya yang berhubungan dengan aktivitas usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, wajar ada biaya yang seharusnya sensitif terhadap perubahan aktivitas dan ada yang tidak sensitif terhadap perubahan aktivitas. Salah satu biaya yang harusnya sensitif tersebut adalah biaya gaji.


Biaya gaji yang seharusnya sensitif tersebut adalah biaya eksekutif perusahaan. Ketika aktivitas perusahaan meningkat, gaji mereka pasti meningkat. Namun, apakah ketika aktivitas perusahaan menurun, gaji mereka juga akan menurun?


Pertanyaa empiris ini, untuk sementara, telah saya bisa saya jawab. Dengan meminjam data dari seorang peneliti, saya menemukan bahwa gaji eksekutif di AS tidak mengalami penurunan setelah aktivitas perusahaan menurun dari tahun 1992 ke 1993. Walau saya tidak bisa menemukan pada level penurunan aktivitas berapa persen gaji akan baru akan menurun, namun terbukti bahwa gaji eksekutif "tidak bersedia diturunkan" walau aktivitas perusahaan telah menurun.


Aplikasi ke Indonesia


Pertanyaan penelitian ini adalah topik yang menarik jika kita bawa ke Indonesia. Gaji eksekutif di Indonesia jelas tidak transparan, walau itu adalah perusahaan publik. Bukti anekdotal di atas hanya berasal dari satu sumber, bukan dari sumber resmi. Di Indonesia tidak ada aturan formal yang mengatur berapa seharusnya rasio gaji antara eksekutif dengan rata-rata pegawai. Sehingga, eksekutif bisa dengan semaunya menetapkan gaji mereka sendiri.


Jika itu yang terjadi, maka bukan tidak mungkin bahwa ketika aktivitas menurun pada masa resesi ini gaji eksekutif perusahaan di Indonesia tidak akan pernah berkurang, walau aktivitas terus menurun. Penurunan aktivitas lebih sering diberi solusi dengan pengurangan karyawan (tindakan ini sebenarnya bertujuan untuk mempertahankan ROA agar tetap tinggi!). Seharusnya, sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap aktivitas dan biasanya digaji berbasis aktivitas, maka penurunan aktivitas harus diiringi oleh penurunan gaji eksekutif juga.


Namun, kendala penelitian ini di Indonesia adalah ketersediaan dan keakuratan data gaji eksekutif di Indonesia, bahkan untuk perusahaan publik sekalipun! Jika pun ada, maka data itu cenderung understated, bahkan kalau kita harus menelusuri ke lembar SPT PPh pasal 21 tahunan mereka.


Jika data ini tersedia, implikasi penelitian ini bagi ilmu akuntansi manajemen akan sangat luas. Di antaranya, pertama, kita akan tahu apakah eksekutif peka atau tidak dengan penciutan bisnis mereka sehingga mereka bersedia digaji lebih rendah atau, setidaknya, bersedia mau tidak diberi bonus berbasis aktivitas. Kita juga bisa tahu apakah kompensasi mereka memang berhubungan dengan kinerja perusahaan ataukah tidak. Apakah pemegang saham selama ini "terlalu bermurah hati" kepada eksekutif atau tidak. Kedua, bahwa rasio gaji yang sangat tinggi tersebut memang bukanlah sebuah rasio yang baik, terutama dari sisi pemotivasian karyawan level lebih rendah. Jika rata-rata gaji mereka sangat jauh dari gaji eksekutif, maka bisa diduga bahwa motivasi, kepuasan kerja akan juga rendah. Ketiga, kita bisa tahu mana eksekutif yang hanya titipan keluarga pemilik perusahaan tapi tidak kompeten dan mana eksekutif yang benar-benar kompeten.




Sleman, November 2008

Label: , ,

By Rahmat Febrianto On Senin, 17 November 2008 At 09.51